Monday 30 March 2020

Penyebab Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Di Kalimantan Selatan Rendah


Indeks atau indikator merupakan sarana yang digunakan untuk mereduksi banyaknya data dan informasi sehingga menjadi bentuk yang paling sederhana namun esensinya tetap dapat dipertahankan. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) merupakan gambaran atau indikasi awal yang memberikan kesimpulan cepat tentang suatu kondisi dan mutu lingkungan hidup pada ruang dan periode tertentu.

Unit analisis terkecil dalam IKLH Nasional adalah Provinsi. Dalam konteks ini para pihak di tingkat provinsi terutama Pemerintah Provinsi dapat menjadikan IKLH sebagai titik referensi untuk menuju angka ideal yaitu 100. Semakin rendah dari nilai 100, semakin besar upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang harus dilakukan. Bila IKLH Provinsi berada di bawah Nasional (atau lebih kecil), berarti provinsi bersangkutan harus berupaya mengakselerasi dan memperkuat perbaikan kualitas lingkungan hidupnya.

Adapun indeks kualitas lingkungan hidup di Kalsel cukup memprihatinkan karena berada di urutan 21 dari 34 provinsi di Indonesia dengan nilai 68.78. Idealnya indeks kualitas lingkungan hidup tersebut di angka 68.


Tabel Indeks Kualitas Lingkungan Hidup di Indonesia Tahun 2018


Akhirnya, Pemprov Kalsel memasang target pada 2019 IKLH harus naik paling tidak 66.16 (RPPLH 2017 2046) atau 68.5 (RPJMN).

Penyebab rendahnya nilai Indeks kualitas lingkungan hidup di kalsel rendah, karena disebabkan oleh nilai indeks kualitas tutupan lahan yang ada di Kalimantan Selatan sangat memprihatinkan yaitu sebesar 49.29 atau dapat dikatakan sangat kurang baik.

Maka dari itu peran pemerintah Kalimantan Selatan seharusnya lebih memperhatikan kondisi lahan-lahan dengan mengadakan revolusi hijau yang juga berguna untuk mengurangi Luas Lahan Kritis di Kalimantan Selatan, luas lahan kritis menurut data BPDAS HL 2015 seluas 641 ribu Ha, dengan target penanaman pertahun seluaS 35.000 ha.

Guna meningkatkan indeks kualitas lingkungan hidup di Kalsel, yakni dengan meningkatkan intensitas penanaman pohon, dengan luasan dan cakupan lahan yang akan ditanami. Masyarakat yang menikah, siswa/siswi dengan program 1 anak 1 pohon, penghijauan (di luar kawasan hutan) serta penanaman kanan-kiri jalan dan kawasan perkantoran. Selain menanam dan menanam kita juga buatkan payung hukum untuk revolusi hijau. Jangan setelah menanam kita tinggalkan, setidaknya kita rawat bersama.

Monday 23 March 2020

Apakah Mampu Banjarmasin Mewujudkan Sebagian Tujuan SDGs?



Sustainable Development Goals atau SDGs adalah seperangkat program dan target yang ditujukan untuk pembangunan global di masa mendatang. SDGs menggantikan program MDGs (Millennium Development Goals), sebuah program yang memiliki maksud dan tujuan yang sama yang akan kadaluarsa pada akhir tahun 2015 ini. SDGs dibahas secara formal pada United Nations Conference on Sustainable Development yang dilangsungkan di Rio De Janiero, Juni 2012.

SDGs adalah sebuah kesepakatan pembangunan baru pengganti MDGs. Masa berlakunya 2015–2030 yang disepakati oleh lebih dari 190 negara berisikan 17 goals dan 169 sasaran pembangunan. Tujuh belas tujuan dengan 169 sasaran diharapkan dapat menjawab ketertinggalan pembangunan negara–negara di seluruh dunia, baik di negara maju (konsumsi dan produksi yang berlebihan, serta ketimpangan) dan negara–negara berkembang (kemiskinan, kesehatan, pendidikan, perlindungan ekosistem laut dan hutan, perkotaan, sanitasi dan ketersediaan air minum).

Konsep SDGs ini diperlukan sebagai kerangka pembangunan baru yang mengakomodasi semua perubahan yang terjadi pasca 2015-MDGs. Terutama berkaitan dengan  mengenai isu deflation sumber daya alam, kerusakan lingkungan, perubahan iklim semakin krusial, perlindungan sosial, food and energy security, dan pembangunan yang lebih berpihak pada kaum miskin.

Peran pemerintah dalam menerapkan pembangunan berkelanjutan di Indonesia salah satunya berfokus pada kebersihan lingkungan yang ada di sekitar.

Kota Banjarmasin yang memiliki isu lingkungan, melakukan akselerasi pembangunan pengembangan kota berbasis sungai yang bersih. Banjarmasin meningkatkan kesadaran kebersihan dan mengajak masyarakatnya peka terhadap alam.

Beberapa inovasi yang telah dilakukan yakni pembatasan tas belanja plastik, kampung tematik dan rumah muka dua, Smart City, Sistem Informasi Manajemen Pemerintah Terpadu (SIMPUN) serta pembangunan kawasan wisata

Menjaga lingkungan untuk tetap bersih dan nyaman juga merupakan tujuan dari pembangunan berkelanjutan yang menjamin kesehatan warga Banjarmasin dan mengurangi dampak dari pemanasan global.

Dampak dari pengelolaan sampah yang tidak baik perlu mendapat perhatian agar hak setiap orang untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 amandemen perubahan kedua pada pasal 28H ayat 1 dapat terpenuhi.

Upaya pengelolaan sampah tidak saja menjadi tanggung jawab penuh pemerintah namun perlu dilakukan bersama-sama dengan pihak swasta dan masyrakat Banjarmasin karena tidak dapat dipungkiri makhluk hidup sangat bergantung dengan alam, kita perlu melestarikan dan membuat bumi menjadi tempat yang layak untuk ditinggali, tidak hanya untuk kebutuhan kita saat ini, tetapi juga untuk generasi yang akan datang.

Selain itu, seharusnya warga Banjarmasin juga dapat berperan dalam mengelola sampah yang dihasilkan, misalnya mendaur ulang dan membuang ke tempat yang tidak menimbulkan polusi atau masalah baru.  Dan yang cukup menjadi perhatian adalah masih banyaknya jumlah rumah tangga yang ada di Banjarmasin yang masih membakar sampah, padahal pembakaran sampah merupakan sumber polusi yang dapat menyebabkan penyakit pernafasan.  Pemerintah, swasta, dan masyarakat Banjarmasin yang memiliki pandangan yang sama terkait kondisi dan kualitas lingkungan tersebut, khususnya terkait sampah, diharapkan sangat membantu secara substansial mengurangi timbulan sampah melalui pencegahan, pengurangan, daur ulang, dan penggunaan kembali, agar target bersama SDGs ke 12 dapat tercapai.
            

Monday 9 March 2020

Apakah Perempuan atau Laki-laki Yang Menyebabkan Kalsel Jadi Provinsi dengan Jumlah Perkawinan Anak Tertinggi di Indonesia?



Dalam UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 7 Ayat (1) dinyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.

Kenyataannya masih terdapat perkawinan usia muda yang umumnya terjadi di daerah perdesaan Kalimantan Selatan terutama pada penduduk perempuan. Hasil SP2010 menunjukkan bahwa sekitar 45,63 persen pemuda berstatus belum kawin, sebesar 52,12 persen berstatus kawin dan sisanya adalah mereka yang berstatus cerai hidup/mati, yaitu sebesar 2,25 persen.

Provinsi Kalimantan Selatan menjadi provinsi dengan jumlah perkawinan anak tertinggi di Indonesia yaitu 39,53 persen (dari jumlah seluruh perkawinan), sementara Daerah Istimewa Yogyakarta terendah dengan 11,07 persen. Data ini dihimpun oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

Angka perkawinan anak Indonesia sendiri merupakan yang tertinggi ke-7 se-dunia dan yang tertinggi ke-2 se ASEAN. Setelah Kalsel, empat provinsi lainnya dengan angka perkawinan anak paling tinggi adalah Kalimantan Tengah (39,21 persen), Kepulauan Bangka Belitung (37,19 persen), Sulawesi Barat (36,93 persen), dan Sulawesi Tenggara (36,74 persen).




Berdasarkan gambar diatas dapat dilihat bahwa adanya perbedaan pola status perkawinan antara pemuda laki-laki dan perempuan yang terjadi di provinsi Kalimantan Selatan. Persentase pemuda perempuan dengan status kawin lebih tinggi dibandingkan dengan pemuda laki-laki (63,82 persen berbanding 40,52 persen). Sebaliknya, persentase pemuda laki-laki yang belum kawin (57,92 persen) lebih tinggi dibandingkan pemuda perempuan (33,23 persen). Perbedaan kedua angka ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa perempuan pada umumnya menikah di usia lebih muda dibandingkan dengan laki-laki. 

Dampak dari pernikahan dini di usia anak akan menyebabkan berbagai dampak. Di antaranya yaitu stunting, anak kurang gizi, alat reproduksinya belum matang sehingga menyebabkan angka kematian ibu melahirkan tinggi, anak yang lahir nutrisinya kurang, dan lainnya. Ini nantinya akan menyebabkan terhadap kualitas anak dan masa depan anak. 

Mengingat usia perempuan ketika menikah belum matang, dan berpotensi menimbulkan komplikasi dan penyakit lainnya

Stunting adalah masalah gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu lama, umumnya karena asupan makan yang tidak sesuai kebutuhan gizi. Stunting terjadi mulai dari dalam kandungan dan baru terlihat saat anak berusia dua tahun.

Menurut saya kenapa perempuan lebih banyak melakukan perkawinan di Provinsi Kalimantan Selatan, karena untuk menolong kondisi perekonomian keluarganya yang serba kekurangan serta kurangnya pendidikan di pelosok-pelosok daerah di Provinsi Kalimantan Selatan.